"Kadang-kadang saya bertanya-tanya, apakah dunia ini dijalankan oleh orang-orang pintar yang mempermainkan kita atau oleh orang-orang bodoh yang sungguh-sungguh?" - Mark Twain.
KOMENTAR Mark Twain diatas paling tidak bisa menggambarkan secara sederhana bagaimana mutu demokrasi kita belakangan ini.
Di satu sisi, pesta pemilihan umum adalah momen yang paling ditunggu-tunggu. Namun disisi lain ternyata momentum ini berkutat hanya sebatas rutinitas yang membosankan.
Ditambah dengan tantangan untuk menyempurnakan sistem pemilihan umum yang masih berbiaya tinggi, apalagi ditengah deraan krisis ekonomi dunia pasca-Covid 19 dan juga perang Rusia-Ukraina, menjadikan Pemilu ke depan seperti layaknya hal yang tidak terlalu dipikirkan oleh khalayak.
Namun demikian, ada hal yang sebenarnya menjadi sisi positif dari Pemilu, jika kualitas penyelenggaraan Pemilu di level KIP dan Bawaslu/Panwaslih Aceh bisa diimbangi dengan semakin bervariasi dan berkualitasnya calon kepala daerah dan partai politik peserta Pemilu.
Dalam konteks ini, lembaga e-TRUST mencoba memberikan kontribusi sekaligus kepada dua pihak untuk menyukseskan pemilu.
Pertama, membuat survei kepada publik terkait beberapa dimensi seperti menakar kualitas peserta pemilu, baik pribadi calon kepala daerah maupun kolektif partai calon peserta pemilu bagi publik dengan melibatkan 1.200 sampel calon pemilih di seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh.
Kedua, meluncurkan Digitalisasi Sistem Pemilu dan Kepala Daerah (Disipada) yang berbasis laman elektronik (web) kepada calon kepala daerah maupun calon partai peserta pemilu.
Khusus untuk tujuan yang pertama, akan menjadi bahasa artikel ini secara lebih mendetil.
Dalam konteks ini, ada beberapa kesimpulan utama yang bisa setidaknya menggambarkan prevalensi prilaku calon pemilih di Aceh dalam periode yang diuji, yakni dari 25 Oktober sd 25 November 2022.
Dengan menggunakan metode multiple-stage random sampling proporsional dengan tingkat kepercayaan 0,95 dan margin error 0,03, jika pemilu dilaksanakan dalam periode di atas, maka parpol yang paling disukai (aspek pilihan popularitas) adalah Demokrat dengan 19,47 persen, disusul PKS dengan 12 persen dan NasDem dengan 10,85 persen.
Kemudian diikuti oleh Partai Aceh sebagai satu-satunya perwakilan partai lokal dalam bandul politik Aceh yang mampu menembus angka 6, 85 persen, sedikit di atas ambang batas (threshold) peserta Pemilu 2024 yang ditetapkan pemerintah.
Terlihat juga ada kecendrungan penurunan signifikan pada perolehan Gerindra dan PPP serta ada kenaikan di kubu pemilih PDIP di Aceh, dengan jumlah responden belum menentukan juga lumayan banyak (swing voter atau undecided voter), yakni berjumlah 30, 40 persen.
Sebuah angka yang fantastis dan menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pemilih, baik KIP maupun Bawaslu/Panwaslih Aceh untuk mereduksi angka di atas.
Disisi lain, jika ditanya partai nasional mana yang akan dipilih (aspek pilihan elektabilitas) jika pemilu diadakan pada rentang waktu di atas, maka publik juga menjatuhkan pilihan ke tiga partai di atas juga.
Partai Demokrat dipilih sebanyak 30,40, disusul oleh NasDem dengan 18, 41 persen dan PKS dengan porsi 17, 42 pesen.
Artinya publik dan calon pemilih di Aceh memvalidasi kembali bahwa poros koalisi NasDem-PKS-Demokrat cukup mendapat tempat dalam peta politik di provinsi paling ujung sumatera ini.
Jadi popularitas dalam konteks parpol yang dipilih berjalan beriringan dan saling mendukung.
Selain itu, jika ditanya terkait partai politik lokal yang mana yang akan dipilih, masyarakat Aceh masih cenderung memilih PA dengan kisaran 57 persen, disusul PNA dengan 25 persen dan SIRA, PDA, PAS yang melengkapi posisi lima besar diambang batas 4 persen electoral threshold.
Sekali lagi, ini mengkonfirmasi bahwa kepercayaan publik pada partai politik lokal berbasis Islam masih belum mampu mendobrak dominasi PA dan PNA yang notabene bagian penting dari amanat MOU Helsinki dan UUPA.
Menariknya lagi, jika ditanya alasan memilih parpol nasional atau lokal, responden di Aceh banyak menjawab bahwa ideologi partai sebanyak 29,3 persen, kemudian tokoh partai sebanyak 20 persen, program yang ditawarkan sebanyak 19, 9 persen, dan agama sebanyak 9, 9 persen.
Sederhanya, hasil ini menunjukkan dua hal. Pertama calon pemilih di Aceh cukup sadar bahwa rasionalisasi mutu dalam konteks ideologi dan program partai memainkan peranan penting sebagai alasan mereka memilih, setidaknya untuk saat ini.
Dengan asumsi pasukan nasi bungkus, pasukan kue kotak dan pasukan serangan fajar belum bergerak.
Kedua, pilihan mereka terhadap calon poros koalisi NasDem-PKS-Demokrat adalah pilihan rasional orang Aceh dalam kondisi normal.
Artinya mereka cukup sadar Aceh dan Indonesia butuh perubahan. Sebuah hal yang membuat optimisme bahwa perubahan ke arah yang lebih baik masih ada dalam benak dan harapan orang-orang yang tinggal di Aceh.
Dalam konteks yang juga saling terkait, rakyat Aceh juga menyebutkan jika Pilkada dilaksanakan tahun 2022, maka cagub yang akan mereka pilih adalah Nasir Djamil dengan proporsi 13, 6 persen, disusul kemudian oleh Muzakir Manaf dengan 11, 1 persen, dan Sudirman dengan 6, 9 persen.
Dibelakangnya ada Tu Sop dengan 6, 6 persen dan Irwandi Yusuf yang kembali masuk bursa dengan 5, 6 persen.
Jika ditanya siapa cagub yang paling mereka kenal, maka responden di 23 kabupaten kota di Aceh menjawab bahwa Muzakir Manaf justru ada di urutan pertama dan Nasir Jamil balik membuntutinya di urutan kedua.
Sebuah prevalensi yang sekaligus mengingatkan kita akan fenomena bahwa dalam konteks pemilihan cagub Aceh kedepan, popularitas tidak selalu berujung pada elektabilitas.
Responden di Aceh juga menjawab bahwa alasan mereka memilih cagub adalah karena intelektualitas dan kecerdasan sang calon (66,4 persen), diikuti oleh keulamaan (7,6 persen), dan keterkenalan atau popularitas sebanyak 5,6 persen.
Sementara alasan memilih cagub karena berasal dari parlok tertentu justru hanya mendapat poin 4,9 persen. Bukti bahwa masyarakan ke depan cenderung memilih sosok cagub dan bukan parpol pendukung cagub.
Bukti juga bahwa masyarakat sadar bahwa parpol harus kerja keras lagi memperbaiki kinerja dan performa mereka dalam menyalurkan aspirasi rakyat dan memperbaiki keadaan.
Akhirnya, meski hasil survey ini menunjukkan prevalensi atau proporsi dari populasi yang memiliki karakteristik tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak bisa digeneralisi terlalu jauh berhubung juga tahapan pemilu masih pada fase yang sangat awal.
Namun paling tidak, pola yang bisa kita baca dari perilaku calon pemilih di Aceh adalah sederhana. Rakyat Aceh butuh cagub dan parpol yang bermutu, bukan kaleng-kaleng.
Namun rakyat Aceh juga tidak boleh kalah dengan provokasi politik identitas, dan godaan politik uang ditengah sempitnya ekonomi.
Bukti dalam Pemilu dan Pilkada sebelumnya juga sudah cukup membuktikan, bahwa cagub dan parpol yang berkualitas belum tentu menjadi pemenang dalam pentas demokrasi kita yang masih harus terus berbenah dan menghilangkan defisit demokrasinya.
Oleh: Dr. phil. Saiful Akmal, MA
Direktur Research and Development e-TRUST.